Minggu, 24 November 2024

Separuh Lansia Indonesia Bekerja: Tak Sejahtera di Usia Senja

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi. Para pengayuh becak sedang menunggu penumpang di Jalan Bunguran, Surabaya, Jawa Timur pada Rabu (4/5/2022). Foto: Pratama suarasurabaya.net

Empat dari lima pekerja lansia di Indonesia berkarya pada lapangan pekerjaan sektor informal. Rendahnya tingkat pendidikan semakin menutup akses mereka ke pekerjaan formal.

Kota Solo di Jawa Tengah masih pagi buta ketika Budiyono bergegas mengayuh becaknya dari Masjid Al Wustho, Mangkunegaran–tempatnya menumpang tidur semalam–menuju Pasar Legi.

Begitu sampai di depan pasar, laki-laki berusia 63 tahun itu langsung memarkirkan kendaraan roda tiganya yang bercat biru pucat. Budi, panggilan akrabnya, bersiap menunggu pelanggan pertamanya.

Di antara hiruk pikuk pengunjung pasar tradisional itu, seorang perempuan paruh baya, yang rupanya penjual daging, mendekat lalu minta diantarkan ke Terminal Tirtonadi. Budi menerima upah Rp20 ribu untuk perjalanan sejauh 1,5 kilometer itu.

Pria asal Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah ini sudah seperempat abad menjadi tukang becak di kawasan itu. Sebelumnya, pria lulusan Sekolah Dasar (SD) ini sempat bekerja serabutan. Mulai dari jadi kuli, buruh bangunan, juga buruh tani.

Budi mengaku, tubuhnya yang sudah renta itu kerap kali terasa pegal-pegal, sakit kepala, dan meriang. “Digosok balsam saja sembuh. Kalau gemreges (meriang), beli obat di warung nanti juga sembuh,” ujar dia, saat ditemui di Terminal Tirtonadi, Senin (10/10/2022).

Saat sakitnya sudah terasa parah, Budiyono baru pulang ke rumah untuk mendatangi dokter langganannya. Dia mengaku enggan ke Puskesmas kendati dia memiliki kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau Kartu Indonesia Sehat (KIS).

Lain halnya dengan Soedjak, tukang becak di Kota Surabaya, Jawa Timur. Kakek berusia 63 tahun yang “mangkal” di sekitar Jalan Rajawali ini rutin memeriksakan kesehatannya ke Puskesmas Krembangan karena sering sesak napas. Gangguan pernapasan itu dia rasakan setelah terpapar dan dinyatakan sembuh dari Covid-19.

“Sekarang sesak napas kalau kecapekan. Dulu enggak. Saya harus bawa ini (inhaler) ke mana-mana,” ujar dia sembari mengeluarkan inhaler dari bagasi becaknya.

Soedjak bercerita, dia terpapar Covid-19 pada 2020, awal pandemi ini masuk ke Tanah Air. Ketika itu dia mengalami gejala sesak napas dan tubuhnya lemas.

Meski dinyatakan sembuh, selama setahun dia hanya bisa terbaring di ranjang. Dia terpaksa harus menyambung hidup mengandalkan bantuan sekelilingnya.

Setelah bisa kembali mengayuh becaknya, ternyata kondisi fisiknya tak kembali seperti dulu. Mau tak mau, dia harus rutin periksa kesehatannya ke Puskesmas agar sesak napasnya tak semakin parah.

Ongkos periksanya gratis. Namun dia tidak sanggup membeli obat hirup untuk meredakan gejala asma tersebut. “Mahal ini. Saya enggak kuat kalau harus beli. Ini dikasih orang,” tutur dia.

Jangankan membeli inhaler, untuk menghemat biaya hidup, setiap Jumat pagi hingga siang dia sengaja menunggu nasi gratis yang dibagikan warga di kawasan itu.

Sejak muda, hanya pekerjaan ini yang bisa dia lakoni untuk bertahan hidup. Pendidikannya hanya sampai SD dan dia tak memiliki keterampilan lain.

Soedjak hanyalah satu dari ribuan lansia di Surabaya yang rutin memeriksakan kesehatan ke puskesmas. Data Profil Kesehatan Kota Surabaya yang dihimpun pada 2016-2020 menunjukkan tren peningkatan kunjungan lansia ke puskesmas. Dari hanya 75 persen pada 2016, naik menjadi 90 persen pada 2020.

Bahkan di Puskesmas Krembangan, tempat Soedjak biasa memeriksakan diri, jumlah kunjungannya lebih banyak dari jumlah penduduk lansianya. Mencapai 1.045 kunjungan per 1.000 penduduk. Wilayah lainnya dengan tingkat kunjungan lansia ke puskesmas tergolong tinggi yakni Kecamatan Lakarsantri, Bulak, dan Jambangan (selengkapnya lihat grafis).

Muhammad Ali Satria Kepala Puskesmas Krembangan Selatan, Kota Surabaya, Jawa Timur, menjelaskan meningkatnya kunjungan lansia ke puskesmas ditentukan banyak faktor. Mulai dari peningkatan kesadaran kesehatan, kapasitas layanan kesehatan, masalah kesehatan hingga kebijakan pemerintah.

Program Jaminan Kesehatan Semesta atau Universal Health Coverage (UHC) yang memberikan akses layanan kesehatan kepada semua warganya secara gratis, menurut Satria turut meningkatkan kunjungan lansia ke fasilitas kesehatan.

“Ada lansia yang datang ke puskesmas sekadar ingin tahu kondisi kesehatan, cek gula darah, cek tekanan darah saja. Itu akan dicatat sebagai kunjungan juga,” terang dia.

Mayoritas Lansia Masih Bekerja, Paling Banyak di Sektor Informal

Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia pada 2022 mencapai 275 juta jiwa. Sebanyak 29 juta jiwa di antaranya atau satu dari sepuluh penduduk adalah lansia atau sudah berusia 60 tahun ke atas.

Di tengah ramainya isu generasi sandwich, faktanya 16 juta lansia, separuh lebih dari jumlah lansia di negara ini, masih aktif bekerja. Angka ini terus bertambah dari tahun ke tahun.

Hanya segelintir lansia yang bekerja di sektor formal, misalnya menjadi direktur, guru, dosen, peneliti, atau politisi. Mayoritas mereka mencari nafkah di sektor informal. Sejak 2016, delapan dari sepuluh pekerja lansia melakukan pekerjaan informal.

Sepertiga dari total lansia bekerja, membuka usaha dibantu buruh tidak tetap. Sepertiga lainnya membuka usaha sendiri. Sisanya menjadi pekerja keluarga atau tidak dibayar, dan pekerja bebas.

Dilihat dari jenis kelamin, lansia laki-laki Indonesia paling banyak bekerja dengan berusaha sendiri. Sedangkan lansia perempuan paling banyak bekerja dibantu buruh tidak tetap.

Sementara lima besar lapangan usaha yang diisi lansia adalah agraris, perdagangan, manufaktur, akomodasi dan makan minuman, dan jasa lainnya. Dapat dikatakan, enam dari sepuluh pekerja lansia berkutat di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Bekerja di sektor informal menjadikan lansia sebagai pekerja yang rentan. Karena tidak memiliki perlindungan ketenagakerjaan, kontrak pekerjaan, maupun imbalan yang layak. Kondisi serupa berlaku juga untuk mereka yang bukan lansia dan bekerja di sektor informal.

Data BPS menunjukkan pada 2021 satu dari lima lansia bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu. Melebihi jam kerja fresh graduate yang masuk pukul 9.00 dan pulang pukul 17.00 selama enam hari kerja.

Merujuk pada Konvensi International Labour Organization (ILO) lama jam kerja tersebut didefinisikan sebagai bekerja berlebih. Jam kerja maksimum menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah adalah 40 jam per minggu.

Lamanya waktu yang lansia alokasikan untuk bekerja ternyata tak serta merta menjamin ekonomi mereka. Sebagian besar masih berada pada status ekonomi rendah dan hampir separuh lansia berada pada kelompok pengeluaran terbawah.

Hasil Sakernas Agustus 2021 memperlihatkan bahwa sekitar satu dari tiga pekerja lansia mendapat upah rendah, terutama pekerja lansia perempuan dan pekerja lansia di perdesaan.

Adapun dari sisi pendapatan, rata-rata penghasilan lansia bekerja di Indonesia ada di kisaran Rp1.340.000 per bulan. Dengan catatan, separuh dari total pekerja lansia mendapatkan penghasilan tak sampai satu juta rupiah per bulan. Dana pensiun yang lekat persepsi sebagai penjamin hari tua, nyatanya hanya bisa memenuhi lima persen lansia di negara ini.

Meski sudah berusia senja dan berpenghasilan rendah, satu dari dua lansia di Indonesia masih menjadi Kepala Rumah Tangga. Mereka masih dibebani tanggung jawab menjadi tulang punggung keluarga karena masih menampung anaknya yang sudah menikah, bahkan cucunya.

Kondisi tersebut bisa disebabkan karena perspektif sosial masyarakat Indonesia bahwa pengambilan keputusan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga menjadi tanggung jawab dari anggota yang paling senior.

Padahal, orang yang sudah berusia lanjut pasti mengalami penurunan fungsi tubuh. Nuniek Nugraheni Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Geriatri Siloam Hospitals Surabaya menyebutkan, orang yang sudah lanjut usia penglihatannya mulai kabur, pendengaran mulai menurun, tenaga berkurang, dan merasakan nyeri di otot dan sendi. Selain itu konsentrasinya juga berkurang dan sering lupa.

Keluhan di atas, kata dokter Nuniek, bisa semakin cepat muncul apabila lansia memiliki pemicu stres. Salah satunya, yaitu ketika lansia mengerjakan suatu hal yang tidak mereka senangi. Misalnya terpaksa bekerja karena tuntutan ekonomi.

Lain halnya apabila lansia bekerja karena memang senang dengan pekerjaannya, keluhan akan lebih lambat terjadi. “Orang usia lanjut memang sebaiknya tetap beraktivitas dan berkarya, tapi yang sesuai dengan kemampuannya. Misalnya melakoni hobi atau kegiatan semasa muda yang fisiknya sudah terbiasa,” kata dokter Nuniek.

Selain itu, aktivitas fisik harus diimbangi dengan nutrisi yang baik, istirahat cukup, olahraga yang sesuai kemampuan fisik, dan kejiwaan yang baik. Artinya tidak stres, depresi, sedih berlebihan atau terus menerus.

Penelitian Agus Setyo Utomo yang dimuat di Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia pada 2017 menyebutkan jenis pekerjaan yang boleh dilakukan lansia adalah yang beban kerjanya tidak terlalu berat, tidak perlu target, persaingan dan deadline menjadi prioritas pilihan.

Selain itu, tingkat mobilitas juga perlu diperhatikan dengan mempertimbangkan tinggi rendah mobilitas dan perlu adanya peregangan otot atau relaksasi di antara waktu bekerja. Interaksi sosial yang baik, menurut penelitian Utomo, juga akan mengurangi perasaan kesendirian dan menjaga hubungan lansia dengan lingkungannya.

Pagar Pembatas itu Bernama Pendidikan

Di negara ini, hanya sedikit lansia yang punya pilihan tetap bekerja untuk aktualisasi diri, bukan lagi soal mencari nafkah. Eduard Lukman, salah satunya. Sejak pensiun sebagai staf pengajar FISIP UI empat tahun lalu, Edu masih mengajar sesekali. Selasa lalu (27/9/2022), ia menjadi dosen tamu kelas Teori dan Perspektif Komunikasi untuk mahasiswa S3 Program PascaSarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat.

Edu terbilang cukup beruntung, karena dapat menempuh pendidikan hingga Strata-2. Didukung beasiswa dari The East-West Center, Hawaii, dia lulus pascasarjana dari Departemen Komunikasi University of Hawaii di Manoa, empat tahun setelah lulus dari Departemen Komunikasi Massa FISIP Universitas Indonesia pada 1983.

Pria yang tahun depan genap berusia 70 tahun ini, mengaku tak memiliki keluhan kesehatan berarti. Ia masih tekun berkebun di rumahnya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Edu tak masalah bila harus jongkok atau duduk di dingklik saat harus mengurusi tanaman.

“Hari demi hari selalu direncanakan untuk aktif secara fisik dan pikiran. Ada kebun, tiap hari berkebun satu jam. Tiap minggu ada agenda ngobrol sama teman lama. Jangan lama-lama, satu dua jam cukup. Karena sekarang tiga empat jam ngobrol itu sudah lelah. Jam dua siang, mata sudah kriyep-kriyep,” kata Edu.

Kesadaran diri, bahwa semua sudah berubah saat memasuki usia lanjut usia, menurut Edu menjadi kunci. Perlu transformasi dan adaptasi bahwa fisik, dan kemampuan lainnya sudah menurun. “Baca buku 45 menit nonstop saja, sudah Alhamdulillah. Kalau diterusin berkunang-kunang. Gak fokus, gak bisa mencerna tulisan. Jadi harus ikhlas, menyadari semua berubah.”

Warga senior seperti Edu yang menempuh pendidikan hingga universitas tak sampai 10 persen. Survei Angkatan Kerja Nasional BPS pada Februari 2022 mencatat, satu dari empat lansia bekerja hanya menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Kondisi inilah yang membuat mayoritas lansia tak punya banyak pilihan pekerjaan dan terjebak di sektor informal yang tidak menuntut kualifikasi pendidikan, seperti Budiyono dan Soedjak.

Tingkat pendidikan bisa dikatakan menjadi syarat mutlak untuk lowongan pekerjaan formal di Indonesia. Separuh lowongan kerja pekerjaan formal yang diunggah perusahaan di LinkedIn pada 3 Oktober 2022 mensyaratkan pelamarnya minimal bergelar Sarjana atau Strata -1. Rata-rata lowongan yang dibuka juga merupakan pekerjaan di level menengah.

Selain mempengaruhi pilihan pekerjaan seseorang, tingkat pendidikan juga dapat memperbesar kontribusi pekerja lansia. Sebagai gambaran, seorang akademisi yang sudah menempuh pendidikan Strata-3 dan bergelar profesor baru pensiun di usia 70 tahun ke atas. Setelah itu, mereka juga masih bisa mengabdikan ilmu pengetahuannya untuk universitas dan masyarakat.

Pengarusutamaan Isu Lansia

Fakta banyaknya lansia yang masih harus banting tulang mencukupi kebutuhan hidupnya mengundang pertanyaan, “Sebenarnya lansia tanggung jawab siapa?”.

Bagai makan buah simalakama, pemerintah menganggap lansia tanggung jawab keluarga, sementara keluarganya tidak peduli. Bahkan ada banyak kasus kekerasan fisik dan psikologi terhadap lansia yang tidak terungkap ke permukaan. Misalnya penelantaran oleh pihak keluarga.

Deshinta Vibriyanti, peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menyayangkan selama ini semua orang sangat peduli dengan isu tentang anak karena mereka adalah penerus bangsa, tapi tidak dengan isu tentang lansia. Padahal, pada akhirnya, semua yang muda akan menua, menjadi lansia.

Penelitiannya pada tahun yang sama tentang peluang dan tantangan Kota Surabaya menjadi kota ramah lansia, membawa Deshinta pada suatu kesimpulan. Kesejahteraan lansia tidak akan terwujud tanpa adanya political will pemerintah.

Penulis buku “Lansia Sejahtera: Tanggung Jawab Siapa?” ini juga menekankan perlunya pengarusutamaan isu lansia di semua bidang dan semua tingkatan masyarakat. Misalnya pejabat-pejabat daerah harus membuat program-program yang pro-lansia.

“Sudah saatnya Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 yang menjadi payung hukum untuk kesejahteraan lansia di Indonesia diperbarui, disesuaikan dengan kondisi lansia sekarang,” kata Deshinta.

“Apalagi saat ini jumlah lansia di negara ini sudah mencapai 10 persen dari total penduduk. Menandakan bahwa Indonesia telah berada di periode Ageing Population atau era peningkatan rasio penduduk lansia,” tambahnya.

Pengarusutamaan isu lansia juga dapat diterapkan dengan memberi kesempatan kepada lansia untuk terlibat dalam pembangunan yang inklusif. Bukan malah menghilangkan perpanjangan tangan lansia ke pemerintah seperti yang terjadi pada 2019. Pemerintah membubarkan Komnas Lansia karena dianggap tidak bekerja dengan baik.

“Mengawinkan pengetahuan orang muda dan pengalaman lansia dapat menghasilkan pemecahan masalah yang komprehensif,” kata peneliti yang memberikan atensi khusus pada kesejahteraan lansia di Indonesia ini.

Pada tingkat masyarakat, khususnya keluarga, pengarusutamaan lansia dapat dilakukan dengan memastikan pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis.

Kesejahteraan lansia sama pentingnya dengan tumbuh kembang anak. Meningkatkan perlindungan untuk lansia sama dengan mempersiapkan masa depan diri sendiri. Karena pada hakikatnya semua manusia akan renta pada waktunya.(iss/ipg)

 

Catatan:

Karya ini merupakan hasil olah data terbuka dari Badan Pusat Statistik (BPS). Basis data dan dokumen induk liputan ini dapat dilihat di Basis Data dan Dokumen Induk.

Liputan ini adalah hasil kolaborasi Anastasya Andriarti, Cahyadi Kurniawan, dan Ika Suryani Syarief dalam program “Pelatihan Jurnalisme Data Investigasi 80 jam untuk Jurnalis” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews.

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
27o
Kurs